Friday, June 13, 2008

Ricardo Izecson Santos Leite [Kaka]


Kaka, nama ini pernah mengecoh. Ini terjadi ketika manajer umum klub sepakbola Juventus, Luciano Moggi, berkomentar menertawakan, ketika nama Kaka beredar di bursa pemain-pemain baru dari Brazil, “Kaka? Kami tidak akan pernah mengontrak pemain dengan nama sperti itu!”

Namun yang celaka ternyata justru nama Luciano Moggi itu, karena akan ikut disebut setiap kali anekdot ini diceritakan kembali, yang memang selalu terjadi setiap kali Kaka membuktikan, betapa nama “seperti itu” tidak perlu mengalanginya menjadi salah satu pemain sepakbola besar yang pernah lahir di muka bumi. Tahun 2007, tak kurang dari dua gelar penting diraihnya sekaligus, European Footballer of the Year dan FIFA Player of the Year. Tak lebih dan tak kurang inilah berkat peranannya membawa AC Milan, tempat ia bergabung sekarang, menjadi juara Liga Champions Eropa; maupun menjadi juara Piala Dunia Antarklub FIFA, di Jepang. Dalam kejuaraan terakhir itu pun Kaka dinobatkan sebagai pemain terbaik.

Dalam usia 25 tahun, kaka bagaikan telah memiliki segalanya: ketampanan keterampilan, kemasyhuran dan kekayaan. Siapakah Kaka yang namanya semula dianggap aneh itu?

Anak orang kaya


Kaka dilahirkan 25 tahun lalu di Kota Brasilia dengan nama Ricardo Izecson Santos Leite sebagai anak dari Bosco Leite, seorang insinyur yang sukses dalam pekerjaannya, sehingga menduduki posisi sosial kelas menengah - yang biasanya tidak menjadi lading subur pemain sepakbola.

Di Brazil sepakbola merupakan jembatan emas, bukan hanya bagi kelas bawah, tetapi bahkan juga kelas terbawah, seperti bisa dibaca dalam riwayat para pemain sepakbola terkenal. Mulai dari Pele sampai Romario, bahkan juga Ronaldo dan Ronaldinho yang masih bermain sekarang ini, berasal dari favella atawa slum alias perkampungan kumuh yang menjadi kontras dunia gemerlap Brazil. Dari menendang bola plastik di sembarang lingkungan, para pemain besar Brazil tumbuh nyaris secara alamiah, dengan cara bermain yang tidak terdapat dalam buku, sehingga permainannya begitu memukau bagaikan seni pertunjukan. Bukankah hanya pemain Brazil yang lazim disebut seniman bola?

Agak lain halnya dalam perkara Kaka. Usianya masih empat tahun ketika keluarganya pindah ke Curitiba, di bagian selatan Brazil, dan tiga tahun kemudian ke Sao Paulo. Saat itu, artinya ia berusia tujuh tahun, guru olahraganya menganjurkan ke-pada Simone, ibunya Kaka yang guru matematika, agar anak itu dimasukkan ke sekolali sepakbola. Dengan segera Kaka menjadi anggota, dan tahun 1997, pada usia 15, ia sudah terpilih untuk masuk tim yunior klub terkenal itu. Prestasi macam ini, bagi pemain yang berasal dari kelas bawah tidak menimbulkan masalah, karena memang tidak ada pilihan lain. Tapi bagi Kaka cukup menyulitkan, karena pilihan lain selain main bola masih luas terbentang. Maka orangtuanya pun membantunya untuk mengambil keputusan. “Mereka tunjukkan kesulitan yang akan saya hadapi kalau mau jadi pemain sepakbola,” ujarnya, seperti dituliskan kembali oleh Tim Vickery dalam World Soccer edisi Mei 2007. “Dan juga kalau belajar untuk jadi insinyur seperti ayah saya. Lantas mereka bilang, ‘Sekarang terserah kamu. Akan kamu temukan suka dan duka dalam keduanya, tetapi pilihan berada di tanganmu dan kami akan mendukungnya.” Kita semua sudah tahu pilihan Kaka. Pilihan yang membuatnya berjumpa dengan banyak pemain dari latar belakang berbeda. Dalam suasana persaingan, potensi konflik jelas terbuka, dan sekali lagi sikap dan tin-dakan orangtuanya menyela-matkan Kaka.

“‘Kita mendapatkan posisi istimewa dalam hidup, tetapi kita juga tahu betapa berat hidup jauh dari keluarga,’ kata ayah saya, karena itu kami biasa mengundang teman-teman yang tinggal di asrama klub untuk tinggal bersama kami saat liburan. Mungkin ini yang saya tak punya prasangka, yakni karena saya berasal dari kelas sosial yang berbeda

Dalam tuntutan dunia sepak bola, tentu sangatlah penting bahwa Kaka bukan sekadar anak orang kaya, tetapi memang bisa main bola. Tostao, pemain tim Brazil yang memenangkan Piala Dunia Jules Rimet tahun 1970 adalah pengagum Kaka sejak awal. Pada Maret 2002, menjelang Piala Dunia 2002, ia bah-kan menulis: “Pemain besar menyederhanakan segalanya. la tidak membuang waktu atau jadi bingung. Inilah yang membuat saya terpesona kepada Kaka. la mengoper, ia menerima, ia menembak, dan melakukan semuanya dengan teknik luar biasa. Kaka sudah siap untuk Piala Dunia ini.”

Namun ternyata, meski Brazil saat itu menjadi juara dunia ke lima kalinya, Kaka hanya bermain beberapa menit melawan Costa Rica, ketika Brazil sudah dipastikan lolos ke babak berikutnya.



Sepuluh langkah ambisius


Ambisi bukanlah tabu dalam tradisi yang membentuk Kaka. Tim Vickery dalam laporannya bahkan menyebut-nyebut nama ilmuwan sosial Max Weber, untuk menghubungkan tradisi kerja keras dalam Protestanisme yang telah membentuk mentalitas baru, menumbuhkan industri dan kerja tetap, kepada apa yang disebut kebajikan. Protestanisme dalam puluhan tahun belakangan, telah melakukan langkah-langkah besar di Brazil yang mayoritasnya menganut Katolik, terutama di antara golongan miskin. Perubahan ke arah “kanan” dalam politik gereja Katolik, dan terkurangkan-nya perhatian kepada masalah sosial, menciptakan keadaan vakum yang telah diisi dalam skala tertentu oleh berbagai organisasi Protestan.

Adapun gereja evangelis yang disebut Renascer (kelahiran kembali) tempat Kaka tumbuh sangatlah berbeda, karena hanya melayani jemaat dari kelas menengah, dan lebih menekankan Protestanisme seperti yang dikemali Weber. Vickery kemudian juga mengutip sejarawan ekonomiDavid Landes, tentang tujuan sistem kepercayaan itu, “Membentuk jenis manusia baru yang rasional, teratur, rajin, produktif.” Suatu deskripsi yang sangat cocok dengan Kaka, yang dengan jelas menyatakan dalam salah satu wawancara awalnya di tahun 2002, bahwa kepercayaannya berhubungan langsung dengan kehendaknya mencapai sukses duniawi. “Ketika saya menyimpang dari jalan Tuhan, saya menangis,” katanya, meski dengan senyuman mengakui, bahwa salah satu tugasnya di tim Sao Paulo adalah sengaja melakukan pelanggaran, untuk menghentikan counter-attack pihak lawan. Tanpa harus merasa bersalah, ia menempatkan sepakbola dalam konteks bisnis. “Saya melihat diri saya sebagai perusahaan,” ujarnya, “Saya memberikan pelayanan kepada Sao Paulo. Saya harus melakukannya dengan baik. Jika perusahaan saya berjalan baik, maka klien saya, Sao Paulo, akan puas dengan saya. Maka sayapun akan mendapat bayaran dan menabungnya. Lantas saya akan mencari klien yang lebih besar, tim nasional atau klub luar negeri. Jika Sao Paulo mau menjual jasa saya, maka mereka dapat melakukannya.”

Sikap seperti ini, lebih teruji setelah Kaka mengalami kecelakaan di kolam renang pada tahun 2000. Tulang belakangnya retak ketika membentur dasar kolam, dan dikhawatirkan akan retak permanen. Tak kurang dari dua bulan dibutuhkan perawatan intensif, yang kesembuhannya justru dilihat Kaka sebagai tantangan baru.

Meski dalam tim yunior Sao Paulo pada 2001 ia cuma seorang pemain cadangan, dirancangnya “sepuluh langkah sukses” sebagai berikut: (1) bermain lagi; (2) direkrut Sao Paulo sebagai profesional; (3) termasuk dalam 25 anggota tim senior Sao Paulo; (4) termasuk dalam 18 anggota tim yang terlibat dalam permainan; [5] menjadi pemain starter dalam tim yang 11 orang; (6) bermain dalam Kejuaraan Dunia Yunior; (7) dipanggil masuk tim nasional senior Brazil; ( bermain untuk Brazil; (9] ber-main dalam Piala Dunia; [10] pindah ke klub besar di Italia atau Spanyol.




Caroline Celico, istrinya, yang dinikahi dengan pesta berbiaya 5 juta Euro.


Tidakkah Kaka, dalam usia belum 19 tahun, terlalu percaya diri? Dalam kenyataannya, urutan 1 sampai 9 dari sasaran itu berhasil dicapainya dalam waktu tak kurang dari 18 bulan! Aje gile! Sukses Kaka dimulai ketika pelatih Oswaldo Alvares mengambil peluang untuk mempromosikannya dalam tim profesional. Kaka mencetak dua gol dan Sao Paulo mengalahkan Botafogo dalam final turnamen Rio-Sao Paulo. Lahirlah fenomena baru yang dicatat pers sebagai “Caca” (”kaka”) - mengikuti ucapan adik kecilnya yang sulit mengucapkan “Ricardo”. Maka sang pahlawan yang mencetak gol itu mengumumkan, bahwa ia lebih suka namanya dieja sebagai “Kaka”.

Wajah tampan Kaka yang tergandakan begitu rupa oleh media massa membuat seluruh Brazil jatuh cinta kepadanya. Dalam bulan-bulan berikutnya, disebutkan betapa gadis-gadis remaja berteriak histeris sampai pingsan-pingsan setiap kali bola datang ke arah Kaka.


Pindah ke Milan & sepakbola eropa


Sebegitu jauh, riwayat seperti itu masih belum dianggap terlalu sukses, karena gelar kemenangan Rio-Sao Paulo hanyalah suatu gelar pra-musim kompetisi. Sao Paulo tak pernah meraih gelar apa pun sejak 1991, dan meski sempat memenangi Piala Libertadores, tahun berikut dan seterusnya bahkan tak lolos babak kualifikasi

Popularitas Kaka di Brazil kemudian membuat semua orang berharap kepadanya. Memang, klub Sao Paulo sering diejek sebagai klub “bambi” karena merupakan klub yang dimiliki kelompok elite kota itu, tentu dngan kaka, berkat latar be;akang kekayaannya, sebagai “bambi-in-chief”, bisa ditebak ap yang berlangsung ketika sukses tak kunjung diraih klub itu sendiri, yakni bahwa semua tanggung jawab solah terletak di punggung Kaka.

Seorang psikolog olahraga di Brazil, yang dipekerjakan untuk tim Piala Dunia 2002, Regina Brandao, berkata: “Ketika seorang pemain tampak menonjol, harapan kepadanya men-jadi tinggi. la terus mengulang tingkat permainan yang selalu sama, yang merupakan tanggung jawab terlalu banyak bagi anak usia 20 seperti Kaka.”

Ketika akhirnya pencari bakat dari klub-klub Eropa mengendusnya, dengan segera pada Agustus 2003 ia telah menginjak Kota Milan setelah ditransfer klub terkemuka dunia, AC Milan. Minggu-minggu pertama bukan tak dilaluinya dengan keraguan. Di tim Brazil, posisi Kaka tenggelam dalam bayang-bayang Rivaldo; jika bahkan Rivaldo di klub AC Milan tidak mendapat tempat yang tetap, akan bagaimanakah kiranya nasib Kaka?

Namun pelatih AC Milan yang berpengalaman, Carlo Ancelotti, icski tak pernah melihat permainannya segera tahu posisi terbaik Kaka, yang kemudian akan menjadi pemain dengan bayaran termahal di Italia. Jika diSao Paulo ia berperan hanya sebagai striker, sebagai penerima bola terakhir yang tugasnya mencetak gol, tetapi prakteknya beroperasi terlalu dalam, sehingga gaya langsungnya (tembakan akurat yang lurus) mu-dah dipatahkan; maka Ancelotti menempatkannya lebih dekat kepada striker lain, tetapi yang dilindungi oleh tiga pemain tengah di belakangnya. Jadi ia mesti menjemput bola itu sekitar 40 meter (yang bisa dilaluinya dalam 3,8 detik) dari ga-wang. Kaka berkembang dengan itu. la seperti telah siap untuk permainan sepakbola Eropa.

Sebaliknya, ini menjadi masalah ketika ia kembali ke tim Brazil, “Baik saya maupun Ronaldinho terbiasa dengan posisi yang tidak usah mengkhawatirkan pemain belakang lawan. Dengan hanya dua pemain tengah di belakang, kami harus bergerak lebih ke belakang, dan ini mengubah gaya permainan.” Dalam Piala Dunia 2006, Brazil tersingkir di perempat final oleh Prancis, karena kepiawaiam Zinedine Zidane membaca keadaan itu.


Top scorer

Meski begitu, dalam Liga Champions Eropa yang telah dimenangkan AC Milan, Ancelotti lagi-lagi mengubah strategi, dengan mendorong Clarence Seedorf maupun Kaka, yang keduanya semula bermain di tengah, ke depan. “Saya ter biasa bermain dengan dua pemain di depan saya,” ujar Kaka kepada Andrea de Pauli dari ESM, yang termuat dalam World Soccer edisi Musim Panas 2007, “Mula-mula saya merasa agak terpana, tetapi lantas saya sudah harus berusaha untuk belajar, untuk berubah, selama tim bermain lebih baik dengan cara itu dan merasa lebih se-imbang. Sedikit demi sedikit, saya mendapatkan gerak dan tempo yang disyaratkan dari posisi baru saya, dan saya se karang merasa sangat nyaman.”

Betapapun, posisi itu memang memberi peluang lebih bagi Kaka untuk mencetak gol - dan ia telah memanfaatkannya sam-pai menjadi top scorer dengan 10 gol pada Liga Champions Eropa 2006/2007 itu. Kini, dalam World Soccer edisi Januari 2008, seperti dituliskan Paddy Agnew, Ancelotti membebaskan Kaka bermain di posisi mana saja, ke mana saja insting membawanya.

Mengapa Kaka begitu mudah menyesuaikan diri, ketika “ma-salah kebudayaan” sering menjadi ganjalan utama para pe-main Brazil yang bermain di Eropa?

“Saya memang ingin bermain di Eropa. Saya putuskan untuk memanfaatkan kesempatan ini bukan hanya secara profesional, tetapi untuk berkembang sebagai pribadi. Saya memilih untuk menjadi bagian dari tempat ini, untuk belajar,” ujar Kaka,

Sangat religius,”Semua karenaTuhan” maksud dua tangan yang menunjuk ke langit setiap kali mencetak gol.


yang telah dengan penuh perhitungan memasang angka 10 untuk tingkat kesulitan yang akan dihadapinya, dan ternyata hanya mengalaminya sebagai 5 saja. “Saya suka apa pun yang ada di sini. Saya suka makanannya, saya belajar bahasanya, dan tentu ini membantu saya untuk menyatu dengan rekan-rekan tim saya,” kisahnya, lagi.

Penting diketahui, bahwa dengan pasti Kaka telah menjadi tokoh penting di AC Milan. “Kalau sudah bicara, ia seperti jauh lebih dewasa,” ujar Andrii She’vchenko, rekannya asal Ukraina yang sudah pindah ke klubChelsea di Inggris. “Ia seorang pemain berbakat, seseorang yang berkepribadian, dan Professional besar yang telah memenangkan rasa hormat siapapun,” ujar Ancelotti.

Sedangkan Emerson, sesama pemain Brazildi AC Milan yang lebih senior, berkata, “la memiliki kepemimpinan alamiah, yang dating dari kepribadiannya. Orang bisa melihat bahwa ia mampu mengungkapkan dirinya sendiri, bahwa ia telah mendapatkan pendidikan yang baik. Jadi ketika ia menyatakan pendapatnya, semua orang men-dengar.


Sepakbola dan pematangan kepribadian

Telah disebutkan bagaimana Kaka memandang sepakbola tak hanya sebagai pekerjaan, tetapi juga wahana pengembangan diri. Dalam hal itu, dengarkanlah bagaimana Kaka memandang Paolo Maldini, pemain belakang AC Milan dan Italia, satu dari sangat sedikit pemain belakang yang pernah menerima gelar FIFA Player of the Year, yang dalam usia 40 tahun masih membela klub maupun negerinya.

“Waktu saya datang ke Milan, Paolo adalah pemain yang saya pelajari dengan cermat,” katanya, “Saya selalu tersentak oleh kenyataan, bahwa pemain dengan sukses yang sudah begitu banyak dan sangat terkenal, selalu menjadi orang pertama yang tiba di tempat latihan, yang pertama dalam melakukan segalanya. Saya selalu bertanya kepada diri saya sendiri: ‘Dari manakah kiranya ia mendapat motivasi itu?’”

Pertanyaan itu dijawabnya sendiri, “Semua itu tergantung kepada kepribadian. Secara kon-stan ia selalu melakukannya dan ia adalah pemenang sejati. Begitulah ia telah dilahirkan, dan begitulah ia akan selalu melanjutkannya. Kita tidak bisa belajar dari hal-hal penting seperti itu di sembarang tempat. Kepribadiannya selalu menentukan perbedaannya dengan yang lain sepanjang kariernya.”

Nah, apakah Kaka, yang telah menikahi Caroline Celico pada 2005, dan tetap bertahan di AC Milan meski telah ditawar oleh klub Real Madrid sebesar 90 juta Euro, lantas ingin mengikuti seluruh prestasi Maldini, yang telah bermain setidaknya dalam delapan final Liga Champions Eropa? “Entahlah. Paolo mewakili suatu gaya, suatu kepemimpinan, seorang pemain yang fit 100 persen dalam definisi profesional sejati, dalam standar kemahiran tingkat tinggi permainan ini. Adalah suatu kehormatan bagi saya bermain dalam satu tim dengannya.”

0 comments:

  © Blogger template 'Isfahan' by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP